Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Minggu, 06 Februari 2011

Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Terjadi Ahistoris dan Ahumanis

Judul Buku: Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan sumberdaya dan perlawanan di Jawa
Penulis : Nancy Lee Peluso
Penerjemah : Landung Simatupang
Editor :  Noer Fauzi
Penerbit: Konphalindo dengan dukungan Ford Foundation
Tahun: 2006
Tebal: Xxvii + 414 hlm

Penyumbang naskah: Tina E.T.V. Napitulu

Buku karya Peluso yang berjudul Hutan Kaya, Rakyat Melarat ini menceritakan tentang perlawanan rakyat petani di Jawa Tengah yang hidup di wilayah desa hutan, yakni desa-desa yang berada di dalam hutan produksi yang diklaim oleh negara ataupun yang berada di dekat hutan tersebut. 

Ketika membaca buku ini, ada dua kata yang segera muncul untuk menggambarkan pengelolaan hutan dan dampaknya. Pertama, ahistoris dan yang kedua ahumanis (tidak humanis).
 
Ahistoris karena dari kisah yang diangkat Peluso, sangat terlihat bahwa pemerintah ‘lupa’ bahwa jauh-jauh hari sebelum dinas didirikan, sudah ada masyarakat yang tinggal di wilayah hutan yang ia klaim sebagai miliknya. Dengan kata lain hutan sesungguhnya bukanlah ruang kosong yang bisa dialokasikan begitu saja untuk sebuah kepentingan.
 
Di banyak kasus, disebutkan oleh Peluso, negara seringkali mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumberdaya alam lain berbasis tanah, sehingga negara dengan semena-mena menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut. Negara juga mengabaikan asal-mula penataan penduduk berdasarkan ruang dan konteksnya, misalnya dengan melihat bahwa peledakan menduduk sebagai penyebab rusaknya hutan tanpa mau mengerti apa yang memengaruhi pengguna lahan untuk mempunyai banyak anak ataupun menebang pohon.
 
Menjadi ahistoris juga, karena perhutani sebagai organisasi yang dibentuk untuk menyejahterakan rakyat melalui pengelolaan sumber daya hutan tidak belajar dari masa lalu. 

Bentuk-bentuk pengelolaan hutannya tidak berbeda dengan masa penjajahan, yang melihat hutan sebagai sesuatu yang netral dari manusia. Lebih menarik lagi karena sekilas Peluso menceritakan bagaimana konsep hutan yang scientific, yang netral dari manusia itu muncul. Semuanya bermula dari kepentingan kaum feodal di Eropa untuk menjaga kepentingan wilayah buruannya.
 
Pengelolaan hutan scientific ini menihilkan manusia. Hutan ada untuk hutan saja. Cerita Peluso tentang Kasran seorang rimbawan yang pernah dikepung masyarakat di tahun 1984 dengan sangat baik menggambarkan keadaan tersebut. “Sikap mental masyarakat harus dibenahi supaya sesuai dengan kebutuhan hutan. Kami harus mendidik mereka. Masalahnya bukan hutan. Masalahnya ialah bahwa orang-orang lapar tanah…saya harus katakan bahwa kami ini (perhutani) bukan organisasi kesejahteraan sosial. Kami ini perusahaan dan bidang usaha kami adalah konservasi. Di sisi lain, adalah tugas seluruh bangsa untuk merawat hutan.” 

Dikatakan pula Kasran terus menerus bercerita bahwa penduduk desa tidak mau mengerti ‘arti dan fungsi hutan’. Hutan harus bersih dari manusia. Ini berarti ahumanis.
Untuk mengupayakan hutan yang bersih dari manusia ini, lalu beragam cara yang lebih tidak manusiawi dilakukan. Mulai dari penggunaan kata-kata yang berkonotoasi negatif sehingga memanipulasi opini publik seperti penduduk desa hutan ‘menduduki’ (tanah negara); ‘mencuri’ (kayu milik negara); ‘menyabot’ reboisasi dan sebagainya.
 
Masyarakat diposisikan sebagai kriminal dan penjahat. Akibat dari tindakan ini, menurut Peluso, negara menjadi tidak mampu membedakan antara ‘pencolengan’ hutan atau ‘kejahatan’ hutan sebagai bentuk protes (bagian strategi petani untuk bertahan hidup) dengan pencurian hasil hutan yang semata demi kejahatan itu sendiri atau demi keuntungan pribadi.
 
Masyarakat yang berusaha bertahan hidup dengan melakukan ‘pencurian’ ini pun dimanfaatkan oleh pasar dan terjebak di dalam lingkaran pasar itu. 

Saya jadi ingat kisah seorang teman yang pernah beberapa waktu hidup dengan para ‘pembalak’ kayu di hutan Jambi. Para ‘pembalak’ ini awalnya adalah transmigran yang tertipu, mereka datang dari Jawa tetapi ketika sampai di Sumatera, tanah yang dijanjikan ternyata tidak ada. Karena butuh uang untuk melanjutkan hidup keluarganya, mereka menerima ajakan seorang cukong untuk menebang kayu di hutan. Kayu yang mereka dapat lalu dijual kepada si cukong.
 
Namun sialnya, si cukong rupanya berkawan dengan jagawana. Oleh si cukong, mereka dipaksa untuk tetap menebang pohon dan menjual hasilnya hanya kepada si cukong tersebut atau jika tidak, si cukong akan melaporkan mereka kepada jagawana karena telah menebang pohon di hutan. Maka terus-terusanlah orang-orang ini memotong kayu dan bersembunyi dari kejaran jagawana yang sesungguhnya tahu apa yang mereka lakukan.
 
Para ‘pembalak’ kayu ini beranak pinak di hutan, tidur di bawah pohon-pohon besar yang diceritakan sangat rimbun bahkan matahari pun tidak dapat masuk. Anak-anak mereka liar saja. Untuk menghindari jagawana, mereka hidup berpindah-pindah. Teman saya suatu saat ditegur agar tidak merokok di malam hari, karena jagawana akan melihat cahayanya bahkan dari jarak kiloan meter.
 
Cara lain yang ditempuh untuk membersihkan hutan dari manusia adalah dengan cara-cara kekerasan, paramiliter, jagawana yang bersenjata api. Peluso bercerita, sebenarnya ada kontradiksi di dalam diri penjaga-penjaga hutan ini. Mereka tidak ingin bertindak kejam seperti penjaga-pejaga hutan di masa penjajahan, namun apa daya, seringkali yang menjadi faktor keberhasilan mereka adalah, seberapa banyak pohon yang dapat berdiri di wilayahnya. Mereka terlatih untuk menjaga pohon dan bukan untuk mendistribusikan kesejahteraan dari hasil hutan kepada masyarakat di sekitar.
 
Begitu banyak kasus tentang kekerasan yang terjadi. Misalnya di wilayah taman nasional – meski ini bukan wilayah perhutani, namun merupakan salah satu wujud dari hutan scientific – terhadap masyarakat yang hidup di dalam atau di sekeliling taman tersebut. Misalnya, kasus dua petani di Taman Nasional Ujung Kulon yang ditembaklumpuhkan oleh jagawana lantaran membawa dahan kayu, yang menurut mereka sebenarnya sudah jatuh. Kedua orang ini lalu diadili dan dikenakan penjara selama satu bulan, padahal tidak ada satupun saksi yang bisa memberatkan mereka dengan melihat mereka menebang pohon itu. Tembak dan penjara selain merupakan bentuk pendekatan yang tidak manusiawi, juga tidak menyelesaikan masalah.
 
Peluso juga bercerita bahwa para mantri hutan juga ‘terjebak’ secara kultural, ketika masyarakat agraris melihat sebagai patron baru, akan tetapi mereka tidak punya kemampuan penuh untuk memenuhi harapan warga akibat pengelolaan yang birokratis. Persaingan sektoral juga mewarnai kerumitan pengelolaan hutan, pertanian atau kehutanan. Padahal rakyat di pinggiran hutan melihatnya sebagai satu kesatuan untuk keberlangsungan hidup.
 
Membaca cerita Peluso, sebenarnya yang muncul adalah gugatan terhadap negara. Untuk siapa sebenarnya negara ini ada? Representasi siapakah dia? 

Pada awalnya saya ingat kepada hak asasi manusia, bahwa negara berkewajiban untuk menghormati dan melindungi serta memenuhi hak asasi manusia (termasuk didalamnya adalah petani). Namun jika negara berada pada posisi berhadap-hadapan dengan warga negaranya sendiri, tentu tidak tepat jika mengharapkan mereka mengakui kewajiban tersebut. Peluso sendiri menawarkan perubahan perimbangan kekuasaan di desa sebagai jawaban, tetapi tentunya menurut dia, ini mengharuskan pembalikan seluruh alur dan menentang tema serta struktur pembangunan di Indonesia.

Catatan Pengelola: tulisan ini diambil dari rubrik Informasi/Data Berita Bumi di sini. Berita Bumi adalah portal berita untuk lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang berisi berbagai informasi tentang Rekayasa Genetik dan Keamanan Hayati, Pertanian Organik, Sumber Daya Alam, Kehutanan, Keanekaragaman Hayati, Bencana Alam dan Lingkungan, Lingkungan dan Perubahan Iklim.

Sekilas tentang buku: 
Buku yang berjudul Hutan Kaya, Rakyat Melarat ini menguraikan sejarah kebijakan kehutanan negara yang dirancang untuk mengendalikan dan mengawasi penggunaan kawasan hutan, jenis pohon tertentu, tenaga kerja dan ideologi di Jawa serta tanggapan penduduk desa hutan terhadap pengendalian yang diterapkan.

Di tengah penerapan desentralisasi, Perhutani melanjutkan posisi sejarahnya sebagai “tuan tanah negara” yang kaya dengan hubungan yang rumit dengan masyarakat setempat.

Buku yang ditulis pada tahun 1992 ini merupakan sebuah studi mengenai ekologi politik, sebagai refleksi dari lingkungan agraria yang kompleks, beragam serta indah.

Betapapun penuh dengan politik yang rumit, argumen dan narasi sejarah dalam buku ini masih relevan hingga kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar